Hukrim
Desa Adat Hadirkan Saksi Ahli Berkaitan Kasus Kesepekang di Banyuasri
Selasa, 23 April 2024
Desa Adat Hadirkan Saksi Ahli Berkaitan Kasus Kesepekang di Banyuasri
SINGARAJA, Proses persidangan terhadap gugatan 11 warga adat Banyuasri yang kasepekang atas dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan Bendesa Adat dan Prajuru Desa Adat Banyuasri, Kelurahan Banyuasri, Kecamatan Buleleng terus bergulir di Pengadilan Negeri Singaraja, bahkan Senin 22 April 2024, Desa Adat menghadirkan saksi ahli.
Dalam persidangan itu, Saksi Ahli lebih memaparkan peran dan fungsi desa adat didalam mengambil keputusan melalui sebuah paruman yang disebutkan sebagai Keputusan tertinggi dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi secara adat.
Usai pelaksanaan sidang, Saksi ahli tergugat, Prof DR I Made Suwitra, SH., MH., dari Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar menegaskan, paruman yang dilakukan merupakan sebuah proses keputusan Desa Adat yang harus diambil sebagai keputusan tertinggi dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi.
"Apa yang dilakukan oleh desa adat dengan masih berpatokan dengan awig-awig yang ada, baik awig-awig tertulis maupun tidak tertulis sejatinya masih relevan selama demi kebaikan Desa adat tersebut, terlebih lagi awig-awig dibuat dan disahkan disaat paruman yang merupakan kesempatan bersama yang merupakan hukum tertinggi yang ada di desa adat,” ucap Prof Suwitra.
Guru Besar Unwar Denpasar itu juga menegaskan, berkaitan dengan penerapan sanksi adat kesepekang hingga saat ini dianggap masih relevan diterapkan di beberapa desa adat di Bali, “Karena itu dianggap masih baik ditekankan dalam rangka menegakan awig-awignya itu masih relevan,” tegasnya.
Pada bagian lain, Prof. Suwitra juga memastikan eksistensi keberadaan Majelis Desa adat (MDA) dalam permasalahan yang dihadapi di Desa Adat Banyuasri seharusnya hanya melakukan mediasi dengan tidak mengeluarkan putusan yang berdampak dengan munculnya masalah baru.
“MDA dalam hal ini, dia adalah sebagai Lembaga yang tugas memediasi sebenarnya bukan untuk menganulir keputusan-keputusan yang sudah sah di desa adat dan bahkan di beberapa kasus justru, jangan-jangan putusan MDA itu menimbulkan masalah baru,” beber Suwitra.
Prof Suwitra sebagai saksi ahli juga kembali menegaskan paruman desa adat merupakan putusan tertinggi yang harus dihargai semua pihak, meski MDA yang memberikan rekomendasi ataupun putusan harus dikembalikan ke desa adat melalui sebuah paruman. “Justru ketika ada putusan dari MDA itu disampaikan dalam paruman dan itu nantinya paruman yang menerima atau seperti apa. Artinya paruman tersebut sebagai pengambil keputusan tertinggi,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Kuasa Hukum Tergugat I Nyoman Sunarta, SH.,MH. Disebutkan, kehadiran saksi ahli tersebut untuk memastikan proses paruman sebagai keputusan tertinggi yang dilakukan Desa Adat didalam mengambil keputusan maupun kebijakan.
"Pada kesempatan kali ini kami menghadirkan saksi ahli yang merupakan akademisi yang membidangi tentang hal ini, dari persidangan yang sudah berlangsung pemaparan saksi ahli sejalan juga dengan apa yang dilakukan oleh Desa adat itu sendiri yang dalam hal ini adalah desa adat Banyuasri. Sejauh ini apa yang dibuat oleh desa adat Banyuasri sendiri sejatinya tidak menyimpang dari apa yang menjadi dasar NKRI sendiri tanpa terpengaruh oleh hal apapun itu juga,” beber Sunarta dari INS dan Rekan.
Secara terpisah, Kuasa Hukum pengugat, Drs I Gede Alit Widana, SH., M.Si., membantah keterangan saksi ahli tersebut, sebab Majelis Desa Adat (MDA) memiliki kewenangan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang tidak mampu diselesaikan oleh desa adat berdasarkan Perda Nomor 4 tahun 2029.
“Kami sangat terkejut dengan pendapat ahli yang menyatakan bahwa MDA itu hanya bersifat administrasi. Jadi saksi ahli menyatakan bahwa awig-awig itu sudah sah berdasarkan paruman saja, sedangkan undang-undang menyatakan, awig-awig itu perlu pengesahan, pengukuhan dari pemerintah daerah sebagai eksistensi kehadiran negara mengakui keberadaan desa adat itu dan system pemerintahannya,” beber Alit Widana.
Sementara, dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Singaraja tersebut mendapat pengawalan dan penjagaan dari kepolisian, bahkan puluhan warga Desa Adat Banyuasri juga mendatangi PN Singaraja untuk menyaksikan jalannya persidangan.
Sebelumnya, sebelas warga Banyuasri mengajukan gugatan kepada Bendesa Adat Banyuasri Bersama Prajuru. Sebelas warga itu diantaranya, I Gede Sidartha, I Nyoman Sri Karyana Dyatmika, Nyoman Trisna Mahayana, Putu Suarsana, I Putu Sudjana, I Nyoman Sri Kurniata Mahasuta, Ketut Suardana, Ketut Pasek, Jro Mangku Ketut Widiana Giri dan Made Suyasa.
Gugatan atas perbuatan melawan hukum dengan tergugat Bendesa Adat Banyuasri, Nyoman Mangku Widiasa bersama prajuru berawal dari pelarangan yang dilakukan terhadap 11 kepala keluarga untuk mengikuti berbagai kegiatan adat termasuk dilarang melakukan persembahyangan ke pura desa adat setempat. (026)
Editor: Suartha