Opini
Menjaga Jati Diri Jurnalis Diantara Tudingan “Berita-Hoaks”
Jumat, 03 Januari 2025
.
Derasnya arus informasi di era digital saat ini, peran jurnalis menjadi semakin krusial. Namun, tantangan yang dihadapi pun semakin kompleks. Tudingan bahwa banyak berita yang disampaikan oleh jurnalis adalah hoaks semakin marak, terutama di kalangan masyarakat yang kurang memahami literasi media. Dalam konteks ini, penting untuk mempertahankan jati diri sebagai jurnalis dan memahami tantangan yang ada, termasuk bagaimana perkembangan teknologi tidak diimbangi dengan pemahaman yang memadai oleh publik.
Era digital telah membawa perubahan besar dalam cara mengakses dan membagikan informasi. Dengan satu ketukan, berita dapat tersebar luas, menjangkau ribuan, bahkan jutaan orang dalam waktu singkat. Platform media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram telah menjadi arena baru bagi penyebaran informasi. Namun, kemudahan ini juga membawa dampak negatif. Masyarakat sering kali lebih cepat percaya pada apa yang mereka lihat di media sosial tanpa melakukan verifikasi fakta. Berpijak pada kondisi ini jurnalis dituntut untuk menjadi garda terdepan dalam menyampaikan informasi yang akurat dan terpercaya.
Sayangnya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk membedakan antara berita yang valid dan informasi yang menyesatkan. Banyak yang terjebak dalam jebakan hoaks, yang tidak hanya mengaburkan kebenaran tetapi juga merusak reputasi jurnalis. Dalam banyak kasus, masyarakat cenderung latah menyebut suatu berita sebagai hoaks tanpa melihat sumber atau konteksnya. Hal ini menciptakan tantangan baru bagi jurnalis yang berusaha untuk menjaga integritas dan kredibilitas.
Hoaks vs. Berita: Memahami Perbedaan
Salah satu alasan mengapa tudingan terhadap berita hoaks semakin meningkat adalah kurangnya pemahaman tentang perbedaan antara berita dan informasi yang pada akhirnya mengarah pada hoaks. Berita dan informasi secara mendasar memang sama-sama merupakan data dan pesan. Perbedaan secara prinsip terletak pada bahwa informasi merupakan data dan pesan yang belum terverifikasi kebenarannya. Sedangkan berita adalah data dan pesan yang sudah terverifikasi kebenarannya oleh jurnalis atau wartawan, serta telah terpublikasi di media masa.
Secara mendasar dapat dikatakan berita adalah laporan yang disusun berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Berita sebagai karya jurnalistik juga mengandung unsur dan nilai berita. Memang terkadang sebuah berita masih terdapat adanya kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan, namun tidak serta merta berita tersebut dikatakan hoaks. Berita yang salah dalam penyajian data dan fakta umumnya disebut sebagai fake news. Sedangkan hoaks adalah informasi yang sengaja disebarkan untuk menipu atau memberikan kesan yang salah. Namun, dalam praktiknya, batas antara keduanya sering kali kabur, terutama di mata publik.
Terdapat kecenderungan di masyarakat dan bahkan wartawan sering kali latah menggunakan istilah "berita hoaks" tanpa pemahaman yang mendalam tentang konteks dan substansi. Penyebutan ini sering kali dilakukan secara sembarangan, tanpa verifikasi yang memadai, sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman tentang apa yang benar-benar terjadi.
Fenomena latah dalam menyebut berita hoaks juga menjadi perhatian serius. Tidak jarang, masyarakat dan bahkan rekan-rekan jurnalis sendiri ikut-ikutan menilai sebuah berita tanpa melakukan pengecekan. Dalam situasi ini, jurnalis tidak hanya berjuang melawan hoaks yang ada, tetapi juga melawan stigma yang terbentuk di masyarakat.
Ketika berita yang disajikan oleh jurnalis dianggap hoaks, konsekuensinya bisa sangat merugikan. Reputasi jurnalis dapat tercemar, dan kepercayaan publik terhadap media juga dapat menurun. Ini adalah siklus yang berbahaya, di mana berita yang sebenarnya bisa saja berisi fakta yang valid, tetapi karena kurangnya pemahaman dari publik, berita tersebut diabaikan atau dianggap tidak relevan.
Penyebutan berita sebagai hoaks, terutama jika tidak didasarkan pada investigasi yang cermat, dapat merendahkan nilai berita sebagai karya jurnalistik. Berita yang ditulis dengan integritas dan upaya untuk menyajikan fakta seharusnya dihargai. Ketika informasi yang valid dicap sebagai hoaks, hal ini tidak hanya merugikan jurnalis tersebut tetapi juga mengaburkan batas antara fakta dan fiksi dalam persepsi publik.
Jurnalis yang berusaha melaporkan fakta sering kali menghadapi tantangan ketika informasi yang mereka sajikan disalahartikan sebagai hoaks. Misalnya, ketika seorang jurnalis melaporkan suatu peristiwa kontroversial, reaksi dari publik bisa sangat beragam. Sebagian mungkin melihat berita itu sebagai kebenaran, sementara yang lain menganggapnya sebagai hoaks. Dalam situasi seperti ini, jurnalis harus tetap tegas pada komitmen mereka untuk menyajikan informasi yang akurat, meskipun mereka mungkin dihadapkan pada tudingan yang tidak adil.
Tantangan Literasi Media
Kurangnya literasi media di masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang memperparah penyebaran hoaks. Tanpa pendidikan yang memadai dalam mengevaluasi informasi, masyarakat menjadi rentan terhadap informasi yang salah dan manipulatif. Literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang disajikan melalui berbagai media. Dalam konteks ini, pendidikan literasi media menjadi sangat penting. Sayangnya, banyak orang tidak dilatih untuk mengkritisi informasi yang mereka terima. Mereka sering kali menerima informasi pada face value, tanpa mempertanyakan kebenaran atau sumbernya. Hal ini menciptakan lingkungan di mana hoaks dapat berkembang tanpa ada kontrol atau pengawasan.
Pendidikan literasi media yang memadai harus mencakup beberapa aspek penting. Pertama, masyarakat harus dilatih untuk mengevaluasi sumber informasi. Dalam dunia di mana siapa saja bisa menerbitkan informasi, penting untuk mengetahui mana yang kredibel dan mana yang tidak. Kedua, masyarakat perlu belajar mengenali bias. Setiap informasi yang disajikan memiliki sudut pandang tertentu, dan penting bagi pembaca untuk menyadari hal ini agar tidak terjebak dalam narasi yang menyesatkan. Ketiga, kemampuan untuk memisahkan fakta dari opini sangat krusial. Dalam banyak kasus, opini bisa disajikan dengan cara yang meyakinkan sehingga sulit untuk membedakannya dari fakta.
Tanpa pemahaman ini, masyarakat menjadi mudah terpengaruh oleh informasi yang salah. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa berita yang mereka baca atau dengar bisa jadi tidak akurat. Contohnya, dalam situasi krisis seperti pandemi atau bencana alam, hoaks dapat menyebar dengan cepat dan menyebabkan kepanikan atau bahkan tindakan yang berbahaya. Ketidakmampuan untuk mengevaluasi informasi dengan baik dapat mengarah pada keputusan yang merugikan, baik secara individu maupun kolektif.
Lebih jauh lagi, ketika jurnalis berusaha menyajikan fakta, mereka sering kali dihadapkan pada tantangan besar. Dalam era di mana informasi dapat tersebar dengan cepat melalui media sosial, jurnalis yang berpegang pada prinsip-prinsip jurnalistik dapat dianggap sebagai penyebar hoaks hanya karena perspektif yang berbeda. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan terhadap media dan jurnalis, yang seharusnya menjadi sumber informasi yang kredibel. Ketika masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk membedakan antara informasi yang valid dan tidak, mereka dapat dengan mudah meragukan semua informasi yang disajikan kepada mereka.
Tantangan ini semakin diperparah oleh fenomena "echo chamber" di media sosial, di mana individu hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangan mereka sendiri. Dalam situasi ini, jurnalis yang berusaha menyajikan fakta yang mungkin bertentangan dengan pandangan kelompok tertentu sering kali dianggap sebagai musuh. Ini menciptakan lingkungan yang berbahaya bagi kebebasan pers dan integritas jurnalisme.
Jurnalis yang berusaha untuk melakukan tugas mereka dengan integritas harus menghadapi tidak hanya skeptisisme dari masyarakat, tetapi juga ancaman dari pihak-pihak yang merasa terancam oleh kebenaran yang disampaikan. Mereka mungkin mengalami tekanan untuk mengubah narasi atau menyajikan informasi dengan cara tertentu agar dapat diterima oleh audiens. Ini merupakan tantangan berat bagi mereka yang berkomitmen untuk menyampaikan informasi yang akurat dan objektif.
Guna mengatasi masalah ini, langkah-langkah konkret perlu diambil untuk meningkatkan literasi media di masyarakat. Pendidikan literasi media harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dari usia dini. Ini akan membantu generasi muda untuk tumbuh dengan keterampilan kritis yang diperlukan untuk menavigasi dunia informasi yang kompleks. Selain itu, kampanye kesadaran publik juga dapat dilakukan untuk menjangkau masyarakat luas, mengajarkan mereka bagaimana cara mengevaluasi informasi dan mengenali hoaks.
Peran lembaga media juga sangat penting dalam meningkatkan literasi media. Media harus berkomitmen untuk menyajikan informasi dengan cara yang jelas dan akurat, serta menyediakan sumber daya bagi audiens untuk memahami proses jurnalisme. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih percaya pada informasi yang mereka terima dan lebih mampu untuk menilai kebenarannya.
Menjaga Jati Diri Sebagai Jurnalis
Menghadapi situasi yang penuh tantangan ini, penting bagi jurnalis untuk tetap menjaga jati diri mereka. Mereka harus berkomitmen untuk menjalankan prinsip-prinsip jurnalistik yang baik, termasuk keakuratan, objektivitas, dan transparansi. Jurnalis perlu terus-menerus mendidik diri mereka sendiri dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi sambil tetap setia pada etika profesional.
Satu langkah yang dapat diambil adalah meningkatkan komunikasi dengan masyarakat. Jurnalis harus menjelaskan proses kerja mereka, termasuk bagaimana mereka memverifikasi informasi sebelum dipublikasikan. Transparansi ini dapat membantu membangun kembali kepercayaan publik terhadap media.
Selain itu, jurnalis juga memiliki tanggung jawab untuk membantu meningkatkan literasi media di masyarakat. Melalui seminar, lokakarya, atau bahkan artikel yang mudah dipahami, jurnalis dapat berkontribusi dalam mendidik masyarakat tentang cara mengenali hoaks dan fake news. Dengan demikian, masyarakat akan lebih kritis dalam menyaring informasi yang mereka terima.
Penting juga untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan, dalam upaya ini. Jika literasi media menjadi bagian dari kurikulum pendidikan, generasi mendatang akan lebih siap dalam menghadapi tantangan informasi di era digital. Mereka akan memiliki alat yang dibutuhkan untuk membedakan antara berita yang valid dan hoaks.
Menjaga jati diri sebagai jurnalis di tengah tudingan berita hoaks bukanlah tugas yang mudah. Namun, dengan memahami perbedaan antara berita dan hoaks, meningkatkan literasi media, serta berkomunikasi secara transparan dengan publik, jurnalis dapat membangun kembali kepercayaan yang mungkin telah hilang. Dalam dunia yang penuh dengan informasi yang menyesatkan, jurnalis harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip etika dan integritas. Hanya dengan cara ini, kita dapat berharap untuk menciptakan masyarakat yang lebih kritis dan terbuka terhadap informasi yang benar.
Penulis : I Nengah Muliarta – Akademisi Universitas Warmadewa
Editor: Redaksi