Opini
Preventif Kekerasan Seksual
Senin, 08 April 2024
.
Oleh : I Wayan Sudira, SH., MH.
Kekerasan seksual merupakan isu yang telah lama menjadi perbincangan di tengah Masyarakat. Buleleng belakangan ini mendapatkan sejumlah angka yang tidak menjadi nilai yang baik untuk kata terkait dengan seksual, namun jumlah angka yang mesti serius untuk disikapi.
Fenomena seputaran seksual tak jarang yang menjadi korban dalam kasus kriminalitas jenis ini adalah anak yang usianya masih dibawah umur. Hal ini sungguh sangat memprihatinkan dan perlu menjadi perhatian kita bersama. Mirisnya, sebagian besar pelaku pelecahan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban mereka.
Ada beberapa alasan mengapa anak sering kali menjadi target kekerasan seksual yaitu anak selalu berada pada posisi yang lebih lemah dan tidak berdaya, moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah, kontrol dan kesadaran orang tua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak yang rendah.
Perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pelecehan seksual terhadap anak perlu mendapatkan perhatian serius mengingat akibat dari kekerasan seksual terhadap anak akan menyebabkan anak mengalami trauma yang berkepanjangan. Upaya perlindungan anak harus dimulai sedini mungkin.
Undang-Undang yang mengatur terkait dengan perlindungan anak sangatlah jelas yaitu Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, yang dimaksud anak dalam undang-undang tersebut yaitu dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, sementara itu Pemerintah Kabupaten Buleleng juga sudah menetapkan Peraturan Daerah tentang perlindungan Perempuan dan anak dari tindak kekerasan, dengan terdapat payung hukum seperti itu rasanya secara regulasi sangat jelas untuk melindungi anak, akan tetapi kasus kekerasan seksual terhadap anak seperti di ungkapkan diatas masih saja marak terjadi.
Dalam konteks kekerasan seksual, hukum berfungsi sebagai social control dan sosial engineering. Social control merujuk pada Upaya untuk membatasi perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai sosial. Hukum berperan sebagai alat untuk mengontrol perilaku dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, sementara sosial engineering mengacu pada perubahan perilaku sosial melalui intervensi hukum dan kebijakan.
Tujuannya adalah menciptakan perubahan positif dalam masyarakat salah satu contohnya Undang-undang yang memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual, rehabilitasi, serta memastikan ketidakberulangan kekerasan seksual.
Untuk melakukan pencegahan perilaku kekerasan seksual tersebut bisa saja dilakukan dengan preventif yaitu dengan melibat melibatkan kalangan Masyarakat yang dipercaya sebagai rohaniawan untuk menjaga dan menumbuhkembangkan moral dari pada Masyarakat itu sendiri, selain itu terdapat beberapa hal juga yang bisa dilakukan dalam upaya pencegahannya yaitu Pendidikan dan kesadaran, pelaporan, perlindungan korban, stigma sosial ini paling terpenting hukum dapat mengurangi stigma sosial terhadap korban kekerasan seksual, dengan menghukum pelaku, Masyarakat dapat melihat bahwa Tindakan ini tidak dapat diterima dan korban bukanlah yang bersalah, ada juga penghapusan stigma ini merupakan membantu korban merasa lebih aman untuk melaporkan kejadian dan mencari bantuan dan yang teakhir adalah menumbuhkan kesadaran Masyarakat tentang kekerasan seksual dapat berubah seiring dengan perubahan hukum dan norma sosial. (003)
Editor: Redaksi